Jumat, 21 Januari 2011

SPIRITUAL DI POJOK RUANGAN

Saya sering diajak teman mengantarkan barang ke bandara.Kebetulan teman saya bekerja di sebuah kantor ekspedisi yang pengirimannya melalui udara.Agak berbeda dengan tempat lain, di bandara ini juga terdapat stasiun kereta api.

Sebelum barang siap untuk dikirim, pegawai jasa pengiriman menyelesaikan administrasinya.Terlihat juga petugas dari bea dan cukai, yang terkadang berseragam dan terkadang tidak.Sambil menunggu saya menyaksikan pesawat yang datang dan pergi.Jauh di luar landasan, di sekeliling pagar, banyak warga yang ikut menikmati pemandangan di bandara.Suasananya seperti tempat wisata namun gratis.

Waktu asar telah tiba, saya mencari tempat untuk shalat, mushala atau masjid kalau ada.Ketika bertanya kepada salah seorang petugas, ditunjukkan sebuah tempat.Tepatnya di pojok ruangan, di bawah tangga menuju lantai atas, dengan ukuran kurang lebih 2x2 meter.Ada sajadah yang kelihatannya baru saja digunakan.

Kalau kita membandingkan dengan sarana umum lainnya, misalnya terminal bus atau stasiun kereta api.Kita akan menemukan kondisi yang tidak jauh berbeda.Tempat ibadah biasanya di tempatkan di pojok atau ruangan paling belakang.Pemandangan ini bertolak belakang dengan jumlah umat Islam yang mayoritas.Dan mereka bangga dengan kemayoritasan tersebut.Tetapi sarana untuk ber-spiritual tidak dibuat istimewa.Terkesan dibangun ketika ada ruangan yang tersisa dan tidak digunakan buat yang lain.

Sarana mendekat kepada Tuhan yang nota bene selalu kita Agungkan dan kita Sucikan, justru dianak tirikan.Tempat ibadah bisa saja kita kategorikan hanyalah simbol, tetapi sekaligus simbol akan eksistensi keberagamaan.

Agama, ketika berada di wilayah perkotaan sering diperlakukan secara ironis.Berkaitan dengan tempat ibadah misalnya, fakta di atas menunjukkan pembangunan sarana ibadah seakan hanya formalitas pelengkap sarana publik.

Kebutuhan spiritualitas sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari peradaban kemanusiaan, sekalipun menyangkut masyarakat perkotaan.Sebagai bukti kebutuhan itu, dapat kita lihat ketika ada bencana alam.Banyak orang yang berbondong-bondong menuju tempat peribadatan.Kondisi demikian adalah wajar.Semangat pertaubatan muncul ketika kesedihan melanda.Atau keterpurukan menimpa seorang individu.Kebutuhan akan kehadiran Tuhan di dalam jiwa amat dibutuhkan.Untuk menguatkan jiwa supaya tidak putus asa atau bahkan bunuh diri.Orang yang bunuh diri pada umumnya karena merasa telah kehilangan jati diri.Mereka merasa asing dengan dirinya sendiri dan tidak lagi mampu berpikir positif.

Tetapi ketika berada pada posisi kemenangan atau sedang berada di atas, Tuhan sering dilupakan.Bahasa lugasnya seakan Tuhan hanya di tempatkan '' di pojok ruangan ''.Manusia merasa mampu menentukan sendiri nasibnya.Keyakinan yang muncul ketika itu adalah keberhasilan yang diraihnya mutlak karena kerja kerasnya sendiri.Namun kita juga harus menyadari, kalau ingin mendapatkan perlakuan yang baik maka akan lebih pantas dengan memberikan pelayanan yang baik pula kepada Tuhan.

Persoalan agama yang menyedihkan dalam masyarakat modern adalah, ketika beribadah dipahami hanya sebatas formalitas saja.Tempat ibadah pada bangunan perkantoran atau sarana umum, hanya sebagai syarat, '' pantas-pantas '' saja.Tidak terlalu penting akan difungsikan atau tidak.Sehingga esensi dari makna beribadah telah bergeser.Dari yang betul-betul sebagai kebutuhan rohani menjadi hanya syarat kepantasan di mata masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar