Kamis, 20 Januari 2011

PORONG, RIWAYATMU KINI

Beberapa waktu yang lalu saya
mampir di Sidoarjo, sebuah kota yang sangat populer dengan '' lumpur Lapindo-nya ''.Meski hanya sebentar, kepergianku kali ini sempat menyisakan kenangan sekaligus mengingatkanku pada cerita lama.

Sidoarjo kini amat berbeda dengan yang pernah ku kenal enam tahun yang lalu.Khususnya di daerah Porong maupun pusat kerajinan kulit, Tangggul Angin.Ketika kami menjadi wartawan di Mojokerto, saya dan seorang teman setiap hari melewati daerah Porong, karena kami tinggal di Sidoarjo.Untuk menempuh jalur ke Mojokerto kami memilih jalan pintas demi menghemat waktu.Jarak yang cukup jauh ketika itu tidak begitu melelahkan karena wilayah Porong masih alami.Dengan pemandangan yang menghijau dan udara segar.Kami biasa menyusuri sebuah jalan yang bukan jalur utama.Di sampingnya ada sungai memanjang menambah kesejukan perjalanan.Ketika kami pulang malam hari, meski lelah namun sangat menikmati rutinitas ketika itu.Padahal perjalanan dari Sidoarjo ke Mojokerto menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam.

Namun kini, suasana yang dulu membuat saya ingin kembali, tidak dapat ditemukan lagi.Akibat semburan lumpur yang mengandung gas serta bau yang menyengat hidung.Suasananya menjadi sangat berbeda.Wilayah sejuk yang dulu sebagai tempat pelarian dari udara kota yang panas dan pengap, kini tidak lagi ditemukan di sana.

Kedatanganku kali ini sebenarnya ingin menyaksikan kembali pusat kerajinan bahan-bahan dari kulit yang ada di Tanggul Angin.Tetapi suasana yang pengap dan jalanan yang kotor penuh debu, membuat semangatku memudar.Untuk sekedar singgah meski hanya sebentar.Entah sekarang bagaimana nasib tas-tas kulit yang dulu menghiasi toko-toko sepanjang jalan dengan model yang inovatif.Apakah masih eksis atau telah menjadi abu ditelan ganasnya lumpur Lapindo.Layaknya pemukiman penduduk yang tertimbun lumpur sekitar sepuluh meter.

Sidoarjo dulu adalah sebuah persinggahan untuk mengendorkan kepenatan akibat bisingnya Surabaya.Ketika pagi harus berjuang melawan tekanan-tekanan konsekuensi profesi, panasnya jalan raya serta kerasnya Surabaya, dimalam hari menikmati sejuknya Sidoarjo.Namun kini semuanya telah berubah.Yang terlihat sangat berbeda dengan yang ku alami enam tahun yang lalu.

Di Sidoarjo, kami, saya dan seorang teman, setiap hari menggoreskan tinta dari peristiwa yang telah kami rekam sebelumnya.Di sana pula kami mengukir rencana-rencana masa depan, mencari jati diri.Di sana kami berjalan bersama mimpi-mimpi dengan gelora darah yang masih segar.Tak jarang kami harus merelakan waktu tidur tergadaikan karena pembelajaran pencarian satu tujuan.Tetapi saya baru sadar, putaran jaman ketika itu tidak dapat ku temukan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar