Senin, 28 Februari 2011

MEMAHAMI PERBEDAAN

Berkeyakinan mengenai adanya Tuhan adalah pencarian.Yang tidak terlepas dari fase maupun proses.Karena ia adalah sebuah perjalanan tentang yang tak kasat mata, tentang rahasia ide.Hanya ada satu cara untuk memahaminya atau untuk tidak memahaminya, yakni kebenaran.Kebenaran harus menjadi satu-satunya tujuan dalam pencarian.Tanpa adanya tendensi, tanpa adanya politisasi, tanpa adanya maksud menindas atau tirani mayoritas terhadap minoritas apalagi motivasi yang bersifat materi.

Tidak ada yang lebih mulia selain Tuhan dan kebenaran itu sendiri.Namun kita hanyalah manusia, yang bisa salah meski terkadang juga benar.Kebenaran yang kita cari tidak terlepas dari persepsi.Sekali lagi karena ia adalah proses.Bahkan sampai hal yang sangat prinsip sekalipun, yakni soal keyakinan.Dalam persepsi segalanya akan serba subyektif.Cahaya yang menerangi akan subyektif, jalan yang suci akan subyektif, ritual-ritual akan subyektif.Subyektifitas terbentuk karena takdir kita memang plural, tidak hanya satu arah.Manusia tercipta dengan kondisi yang berbeda-beda.Bukan karena manusia ansich namun oleh penyebab yang masih misteri.Sampai akhirnya kita menemukan kebenaran atau yang Haq.

Ketika kita telah berani mengikrarkan diri telah menemukan yang Haq.Maka kita telah menjadi manusia sejati.Bukan manusia yang bersifat hewani, di mana perbedaan dengan hewan hanyalah pada akalnya.Sementara keserakahan masih ada, pelampisan nafsu tetap meraja lela, penindasan, emosi, brutal, tidak toleran, pendek kata hukum rimba masih menjadi pegangan.Bukan manusia demikian yang pantas berikrar telah menemukan kebenaran.Pun juga bukan manusia yang merasa mulia sendiri sementara orang lain dianggap hina.Manusia yang telah menemukan kebenaran adalah manusia yang penuh toleransi dan mempunyai akal sekaligus budi.

Dengan budi, manusia sejati akan mencintai toleransi.Bukan kecurigaan yang tidak berdasar.Atau kesombongan oleh karena ego telah mematahkan pemahaman akan persepsi.Keyakinan merupakan persoalan eskatologi yang terkadang filosofipun tidak mampu memahami.Hanya dengan toleransi pesan-pesan damai akan tercapai.Sebaliknya, tanpa toleransi manusia akan terus bertikai memperebutkan persepsi.

Dalam berkeyakinan, manusia tidak mempunyai kuasa atas manusia.Tidak juga penguasa yang memaksakan kekuasaannya.Keyakinan ada dalam hati nurani.Ia bertengger bersama jiwa.Semuanya masih misteri karena kita belum pernah berpindah dari kondisi yang serba fana ini.

Syahdan, kita telah sampai pada kondisi yang melampaui diri.Dengan selalu menghiasi keyakinan dengan istilah sesat.Sesat dan tersesat bukan lagi dialamatkan pada jalan semata, mau ke mana kita melangkah secara harfiah.Tetapi sesat juga dialamatkan kepada hal yang sangat prinsip, mengenai keyakinan.Namun sesat bukan alasan untuk mencaci-maki orang lain, menghakimi kelompok lain, bahkan membunuh pihak lain.Biarlah sesat tetap menjadi kata yang berdiri sendiri tanpa harus mengusik toleransi.Karena sesat sejatinya bukan ranah manusia.Manusia hanya bisa dan mampu berusaha, ada yang lebih pantas dan berhak untuk melakukan penghakiman tentang sesat.

Sesat sangat erat dengan keyakinan yang telah melahirkan agama.Agama seharusnya mengajarkan perdamaian.Meski dalam sejarahnya selalu ada yang dianggap sesat, bukan dengan kekerasan persoalan diselesaikan.Apalagi menggunakan kekuasaan atas manusia, sekalipun berasal dari penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar